Sulit berkata "tidak" dalam lingkungan sosial adalah fenomena yang sering kita temui, terutama di kalangan individu yang dikenal sebagai people pleaser. Pernahkah kamu terjebak dalam situasi dimana ingin menolak, tetapi justru berkata "iya" demi menjaga hubungan atau menghindari konflik? Fenomena ini semakin relevan di tengah pergaulan saat ini, dimana tekanan teman sebaya (peer pressure) membuat seseorang kesulitan mempertahankan prinsip atau keinginannya. Namun, seni berkata "tidak" adalah keterampilan penting yang perlu dikuasai, terutama bagi mereka yang sering menghadapi tekanan sosial dalam pergaulan.
People pleaser adalah individu yang cenderung menyenangkan orang lain, bahkan dengan mengorbankan kebutuhan atau keinginan pribadi. Karakteristik utama mereka meliputi sulit berkata "tidak", rasa takut mengecewakan orang lain, kebutuhan tinggi akan validasi dan penerimaan sosial, serta rasa cemas saat menolak permintaan orang lain. Hal ini bukan karena mereka ingin membebani diri, melainkan karena rasa takut terhadap penolakan atau pandangan negatif dari orang lain. Perilaku ini sering kali berakar dari keinginan untuk merasa "berharga" di mata orang lain (Brown, 2024).
Salah satu penyebab utama adalah pengalaman dalam keluarga yang mengharapkan anak-anak untuk selalu memenuhi harapan orang tua atau anggota keluarga lainnya dapat menciptakan rasa tanggung jawab yang berlebihan. Ketidakstabilan emosional dalam keluarga, seperti konflik yang sering terjadi, dapat mendorong individu menghindari konfrontasi dengan menyenangkan orang lain. Selain itu, trauma emosional seperti penolakan atau kritik yang menyakitkan dapat memperkuat rasa tidak berharga dan mendorong individu mencari penerimaan melalui perilaku menyenangkan orang lain.
Dalam konteks pergaulan mahasiswa, tekanan teman sebaya (peer pressure) menjadi salah satu tantangan terbesar bagi seorang people pleaser. Tekanan ini bisa berupa ajakan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan prinsip, atau tuntutan untuk selalu "ada" bagi orang lain (Chen, 2024). Sayangnya, ketidakmampuan berkata "tidak" sering membuat mereka lelah secara emosional dan fisik. Dalam konteks ini, individu sering terdorong untuk mengikuti norma atau harapan kelompok teman, meskipun hal tersebut bertentangan dengan nilai atau keyakinan pribadi.
Bagi seorang people pleaser, mengatakan "tidak" bukanlah perkara mudah. Ada banyak faktor psikologis yang mempengaruhi, seperti:
Takut Ditolak: Di kehidupan sehari-hari sering kita temukan apabila teman kita meminta meminta bantuan mengerjakan tugas kuliah di malam hari, padahal kita sudah lelah dan memiliki rencana istirahat. Kita merasa takut menolak karena khawatir akan dianggap tidak peduli atau tidak mau membantu teman.
Kurangnya Keterampilan Komunikasi: Dalam situasi sehari-hari, kita sering merasa kesulitan ketika harus mengatakan "tidak" kepada teman yang mengajak kita melakukan sesuatu. Misalnya, saat teman mengajak nongkrong atau mengerjakan tugas di luar jadwal yang kita rencanakan, kita cenderung tidak bisa mengutarakan penolakan dengan jelas dan tegas.
Kecemasan Akan Konflik: Kita kerap mengalami situasi di mana takut menimbulkan ketegangan membuat kita selalu mengiyakan ajakan atau permintaan teman. Contohnya, saat teman sekelompok memutuskan sesuatu dalam pembagian tugas, kita memilih diam dan setuju meski sebenarnya tidak sepakat, hanya untuk menghindari perdebatan yang mungkin terjadi.
Tekanan dari teman dapat memperkuat pola perilaku ini menyenangkan orang lain yang dimiliki oleh seorang people pleaser. Seorang people pleaser sering kali merasa terperangkap dalam siklus pencarian validasi sosial yang melelahkan. Perilaku ini sering kali berakar dari pengalaman masa kecil dan harapan sosial, sehingga mereka lebih memprioritaskan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan pribadi (Brown, 2024). Ketakutan akan penolakan mendorong mereka untuk terus menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain. Mereka meyakini bahwa nilai diri tergantung pada seberapa banyak mereka dapat menyenangkan orang di sekitar.
Menjadi seorang people pleaser, atau seseorang yang selalu ingin menyenangkan orang lain, bukanlah hal yang mudah. Di balik senyum dan kata “iya”, ada beban emosional yang sering kali tidak terlihat. Orang yang terus-menerus menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhannya sendiri berisiko menurunkan kepuasan hidup. Mereka juga cenderung sulit menerima diri sendiri dan memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi. (Bloom, 2019) Dalam jangka panjang, mereka berpotensi kehilangan identitas diri akibat berfokus memenuhi ekspektasi orang lain. Contohnya adalah Maya, seorang people pleaser yang sering merasa tertekan karena takut mengecewakan teman-temannya. Ketika akhirnya ia belajar berkata “tidak”, Maya menyadari pentingnya memprioritaskan kebahagiaannya sendiri.
Belajar berkata “tidak” adalah keterampilan yang perlu dilatih, terutama bagi people pleaser. Menggunakan kalimat yang sopan namun tegas seperti “Aku senang kamu mengajakku, tapi kali ini aku harus menolak,” dapat membantu menetapkan batasan tanpa menimbulkan konflik. Menurut penelitian oleh Smith & Fitzpatrick (2019), membangun batasan pribadi yang sehat adalah langkah pertama untuk menjaga kesehatan mental. Selain itu, mengenali prioritas diri, seperti waktu untuk beristirahat atau melakukan hobi, juga membantu melindungi diri dari tekanan sosial.
Pertemanan yang sehat adalah lingkungan terbaik untuk melatih kemampuan berkata “tidak”. Teman yang baik akan menghormati batasanmu dan menerima dirimu apa adanya. Mereka tidak akan memaksamu untuk menyetujui ide atau permintaan mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Thomas et al. (2020), membangun pertemanan positif dimulai dengan memilih orang-orang yang benar-benar peduli dan mendukung pertumbuhanu, bukan yang hanya memanfaatkanmu. Dengan demikian, kamu dapat menciptakan hubungan yang mendukung kesehatan mental dan saling menghargai satu sama lain.
Daftar Pustaka
Bloom, L & Bloom, C. (2019, April 3). The hidden cost of people-pleasing. Psychology Today.
Chen, S. (2024). The Relationship Between Social Pressure. Journal of Education Humanities and Social Sciences, 26, 555–560. https://doi.org/10.54097/h0bzhj03
Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead: Brown, Brené: 9781592408412: Amazon.com: Books. (2024). Amazon.com. https://www.amazon.com/Daring-Greatly-Courage-Vulnerable-Transforms/dp/1592408419
Elbassiouny, A., Karns, T., Messerly, A., Madison, G., & School, H. (n.d.). Social psychoogy: Social cognition and social influence a six-lesson unit plan for high school psychology teachers. https://www.apa.org/ed/precollege/topss/lessons/social-psychology.pdf
Smith, K. L., & Fitzpatrick, M. R. (2019). Boundaries, power and ethical responsibility in counseling and psychotherapy. British Journal of Guidance & Counseling, 47(3), 338-354.
How To Stop Being a People Pleaser. (2024, March). Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/how-to-stop-being-a-people-pleaser.html
Thomas, J. J., Richardson, A. C., & King, M. L. (2020). Quality of friendships and social support in adolescent mental health: The role of authenticity in relationships. Journal of Research on Adolescence, 30(4), 864-884.
***********
Best Regards,
Tim Redaksi PSYGHT 24/25
Penulis:
Lolita Amanda (2022)
Putri Holong (2023)
Editor :
Verlyn Tatiana Harefa (2022)
Comments