Regulasi emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai, mengatasi, mengelola, dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional. Gross (1999) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu memengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya, dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut.
Memiliki kemampuan regulasi emosi berarti kita dapat mengawasi dan bahkan mengubah reaksi emosional kita ketika dibutuhkan. Kita dapat mempraktikkan regulasi emosi untuk mengatasi masalah disregulasi emosional, dimulai dengan belajar mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan kita dengan cara yang bermanfaat. Individu yang mempraktikkan regulasi emosi cenderung mengatasi stresor kehidupan dengan lebih baik dan lebih tahan banting. Mereka memiliki strategi koping yang lebih baik dan toleransi terhadap tekanan. Regulasi emosi merupakan faktor protektif terhadap gejala depresi dan gangguan kecemasan. Menurut Rajappa et al. (2011), perilaku bunuh diri adalah upaya untuk melarikan diri dari emosi negatif yang muncul ketika individu tidak memiliki strategi regulasi emosi dalam menanggapi tekanan emosional.
Anak-anak yang dapat meregulasi emosinya cenderung lebih fleksibel dalam berpikir dan memiliki fokus, kontrol impuls, dan keterampilan memecahkan masalah yang lebih baik. Kemampuan mengatur emosi penting untuk pencapaian akademik, kesiapan sekolah, dan kesehatan mental. Jika mereka tidak bisa mengekspresikan diri sendiri atau mengatur perasaan mereka dalam cara yang sesuai usia mereka, mereka juga berisiko mendapat penolakan sosial. Regulasi emosi juga akan membantu individu untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi saat berhubungan dengan orang lain.
Menurut Gross (2008), terdapat lima cara atau kategori tindakan yang termasuk dalam regulasi emosi. Cara pertama adalah situation selection, yaitu saat kita memilih untuk menghindari situasi yang bisa menghasilkan emosi yang tidak diinginkan. Contohnya adalah ketika kita tahu ada orang yang tidak kita sukai pada suatu acara, maka kita akan memilih untuk tidak menghadiri acara tersebut. Akan tetapi, Gross memperingati bahwa cara ini tidak selalu baik karena dengan menghindari konfrontasi, mungkin saja kita mengorbankan kemampuan untuk memperbaiki hubungan kita dengan orang tersebut. Menurutnya, penting untuk mendapat pendapat dari orang lain untuk melakukan ini, seperti dari teman, keluarga, atau bahkan psikolog.
Cara kedua adalah situation modification, di mana kita mengubah situasi tertentu, sehingga akan menghasilkan emosi yang berbeda dengan yang seharusnya. Contohnya adalah ketika kita merasa lelah mengerjakan tugas, kita bisa memutar dan mendengarkan lagu yang menenangkan, sehingga situasi dapat berubah menjadi lebih baik. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai problem focused coping (Lazarus & Folkman, dalam Gross, 2008).
Cara ketiga adalah attentional deployment, di mana kita memilih untuk fokus pada suatu hal spesifik secara internal. Ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu distraction dan rumination. Distraction adalah keadaan ketika individu memperhatikan hal lain dalam situasi, sedangkan rumination adalah keadaan ketika individu memikirkan pengalaman masa lampau yang terkait dengan emosi tertentu. Contohnya, saat kita merasa tidak nyaman dengan adanya semut di meja, kita bisa memilih untuk melihat ke arah lain atau memikirkan hal lain. Cara ini juga melatih kemampuan kontrol kognitif, sehingga baik untuk otak kita.
Cara keempat adalah cognitive change, atau yang dikenal dengan sebutan reappraisal (Gross, 2008). Reappraisal adalah tindakan individu untuk mengubah makna dari suatu kejadian atau situasi, sehingga mengubah respon emosi yang akan muncul. Contohnya, saat kita senyum dan melambai ke seorang teman yang tidak membalas sapaan tersebut, umumnya kita akan merasa sedih atau marah. Akan tetapi, dengan melakukan reappraisal, kita bisa menganggap teman kita sedang tidak fokus dan tidak melihat kita, atau sedang memikirkan hal lain, sehingga tidak menyadari kita menyapa mereka. Dengan cara ini, perasaan sedih atau marah bisa dihindari.
Cara terakhir adalah response modulation, yaitu ketika kita berusaha mengubah perilaku respon emosi secara langsung. Contohnya, saat kita sedih atau lelah, ekspresi muka yang cemberut bisa ditahan atau diubah dengan tersenyum. Berdasarkan teori facial feedback (Davis, Senghas & Ochsner, 2009), ekspresi muka akan memengaruhi perasaan yang kita miliki. Menahan ekspresi sedih dan ekspresi negatif lainnya akan “meredam” dan meminimalkan dampak emosi tersebut.
Nah, sekarang teman-teman sudah paham kan tentang regulasi emosi? Semoga teman-teman bisa mulai melakukannya ya, terutama karena setelah masa pandemi kita akan kembali kuliah offline. Dengan regulasi emosi, kita bisa menampilkan diri kita yang terbaik, sehingga tidak menyebabkan konflik dengan orang lain di sekitar kita dan mengatasi tekanan dari tuntutan akademik!
DAFTAR PUSTAKA
Gross, J. J. (1998). Antecedent-and response-focused emotion regulation divergent consequences for experience, expression and physiology. Journal of Personality and Social Psychology, 74(1), 224-237.
Gross, J. J. (2008). Emotion regulation. Handbook of emotions, 3(3), 497-513.
Davis, J. I., Senghas, A., & Ochsner, K. N. (2009). How does facial feedback modulate emotional experience?. Journal of research in personality, 43(5), 822-829. doi: 10.1016/j.jrp.2009.06.005
Schad, J. (2016, October 7). The importance of emotion regulation. Diakses dari research.uncg.edu/spotlight/the-importance-of-emotion-regulation/
Mightier. (2022, January 30). What is emotional regulation. Diakses dari be.mightier.com/articles/what-is-emotional-regulation/
Ong, E. & Thompson, C. (2019). The importance of coping and emotion regulation in the occurrence of suicidal behavior. Psychological Reports, 122(4), 1192-1210, doi: 10.1177/0033294118781855.
**********
Best Regards,
Tim Redaksi PSYGHT 2021/2022
.
.
Writers: Vincent Tjandera (2019), Kathlyn Sandrina (2021), & Shanes Felicia Chandra (2021)
Editors: Gabriela Brenda Nathania Sukmana (2020), Caroline Ersalina Christie (2019), & Anggie Renaisance (2019)
Comments