top of page

Plagiarisme AI dan Degradasi Pemikiran: Dampak Penggunaan AI Terhadap Kognisi dan Etika Mahasiswa

  • Writer: PSYGHT
    PSYGHT
  • Jun 28
  • 4 min read

Sebagai makhluk yang dianugerahi rasa keingintahuan tak terbatas, manusia didorong untuk selalu memperluas wawasan dan mencari kebenaran di dunia sekitar. Sejak masa kuno, hasrat selalu menjadi penggerak utama dalam evolusi kultur dan peradaban. Para ilmuwan, pemikir, serta pemimpin sepanjang sejarah menapaki jalan yang dipenuhi dengan kesulitan hanya untuk mendapatkan pemahaman dan mencari kebenaran. Justru dengan kesulitan tersebut, pengetahuan menjadi sesuatu yang bermakna dan berharga. Namun, di era digitalisasi sekarang di mana pengetahuan dapat dengan mudah disajikan dalam hitungan detik, persepsi serta rasa cinta manusia terhadap pengetahuan mulai mengalami suatu pergeseran. 

Kehadiran kecerdasan buatan atau AI membuahkan suatu era penuh oportunitas bagi manusia untuk mengakses informasi secara efisien. Aksesibilitas tersebut telah menciptakan sebuah jalan dalam mendalami berbagai disiplin ilmu secara modern dan produktif. Akan tetapi, tanpa kesadaran penuh, kemudahan yang ditawarkan AI membuka banyak celah bagi individu untuk mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan tugas. AI yang seharusnya membantu dalam meningkatkan rasa keingintahuan, justru disalahgunakan untuk menyalin informasi tanpa berpikir dan menciptakan suatu produktivitas yang ilusif.


Dengan paparan problematika di atas, hadirlah suatu concern yang semakin tinggi terhadap konseptualisasi pemikiran manusia di masa depan. Mba Syanes, seorang dosen psikologi sosial dan kognitif, menguraikan dampak plagiarisme melalui AI terhadap pendewasaan pemikiran dan konsep diri secara komprehensif melalui sesi wawancara.


Fenomena plagiarisme AI yang semakin merajalela di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa faktor psikologis. Penelitian Martin D.E. (2011) mengenai budaya terhadap plagiarisme menunjukkan bahwa tindakan plagiarisme lebih cenderung untuk terjadi di negara - negara yang menganut budaya kolektivis. Di Indonesia, sebagai salah satu negara dengan budaya kolektivis, properti – termasuk properti intelektual (e.g. karya ilmiah, sastra) – cenderung dipandang sebagai sesuatu yang dimiliki bersama. Kurangnya batasan jelas antara kepemilikan pribadi dan kepemilikan bersama menimbulkan adanya persepsi sosial bahwa karya atau properti dapat dibagi secara bebas, tanpa memperhitungkan hak individu atas karya tersebut.


Kedua, ada sebuah degradasi terkait sistem pendidikan di Indonesia dalam menekankan urgensi pemikiran kritis dan pemahaman materi di atas penghafalan  yang secara tidak langsung meningkatkan tendensi siswa untuk melakukan plagiarisme. Dengan jejak akademis yang dipandang sebagai penentu keberhasilan pada masa sekarang, tercipta dorongan bagi siswa untuk melakukan plagiarisme melalui AI. Sebaliknya, siswa yang mengerjakan dengan jujur dan tidak mendapatkan nilai yang memuaskan, mengalami penurunan motivasi karena usaha dan hasil yang tidak seimbang. Dengan ketidakadilan tersebut, banyak mahasiswa memilih untuk menggunakan metode yang memperbolehkan mereka untuk memiliki usaha minimum tetapi dengan nilai yang tinggi. 


Lantas, apa yang kemudian terjadi bagi mereka yang melakukan plagiarisme melalui AI? Pertama, ketika seseorang terus menerus melakukan plagiarisme, mereka akan mengalami cognitive dissonance, yakni rasa ketidaknyamanan karena perbedaan antara nilai - nilai yang dianut dengan tindakan. Sebagai contoh, seorang individu menganut kepercayaan bahwa mereka merupakan seseorang yang jujur dan berintegritas, tetapi tindakan plagiarisme yang dilakukan bersifat tidak etis. Dengan kedua hal ini yang bertentangan, mereka akan berusaha untuk mengatasi disonansi dengan mengubah sikap mereka terhadap moralitas dari plagiarisme. Individu tersebut akan berusaha untuk mengubah pemikirannya dengan menilai plagiarisme sebagai suatu tindakan yang tidak buruk, atau dalam beberapa kondisi dapat dilakukan sehingga perilaku tersebut dapat diterima secara moral. Ketika standar etika mereka terhadap plagiarisme menurun, maka hal tersebut dapat merambat ke aspek - aspek dan nilai moral lain.


Selain itu, ketergantungan terhadap AI dapat menimbulkan suatu keyakinan bahwa mereka tidak mampu untuk mengerjakan tugas tanpa adanya bantuan dari AI. Dengan penurunan kepercayaan diri yang terjadi, maka self-efficacy individu juga mengalami perubahan – di mana mereka menganggap bahwa diri mereka tidak lagi kompeten tanpa menggunakan AI. Kepercayaan ini menciptakan suatu self-fulling prophecy, yakni dengan mereka yang gagal untuk melihat kemampuan diri dan membiarkan AI mengerjakan segala tugas, mereka tidak dapat melatih keterampilan mereka sehingga menciptakan suatu hambatan dalam perkembangan intelektual dan pengasahan keterampilan.


Prasangka bahwa AI merupakan suatu ancaman yang dapat menggantikan tenaga kerja manusia telah dibantah berulang kali. Beberapa upaya untuk menggunakan AI dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan intelektual, seperti menulis buku, gagal dalam skala besar dan dalam beberapa peristiwa, menciptakan konsekuensi yang mematikan (lihat: Mushroom pickers urged to avoid foraging books on Amazon that appear to be written by AI | Fungi | The Guardian)(Milmo, 2023). Oleh karena itu, yang menjadi kekhawatiran pada masa kini bukanlah AI yang mampu mengalahkan manusia, tetapi manusia yang sudah percaya bahwa kemampuan AI melebihi kemampuan diri sendiri. Pada dasarnya, AI merupakan suatu alat yang berguna untuk mempermudah pekerjaan dan meningkatkan efisiensi, tetapi ketika kita menaruh kepercayaan penuh dan membiarkan AI mengerjakan segala tanggung jawab kita, maka hal itu hanya akan mengurangi kompetensi manusia serta menciptakan berbagai karya yang tidak bernyawa dan monoton.


Maka dari itu, bagaimana caranya agar kita dapat menggunakan AI dengan cara yang lebih bermoral dan kreatif? Pertama, penting untuk mengingat kembali definisi plagiarisme sebagai tindakan menjiplak atau mengambil karya orang lain. Oleh karena itu, selama konten inti yang dihasilkan merupakan hasil pemikiran sendiri, maka menggunakan AI untuk hal teknis lain seperti memperbaiki tata bahasa, mencari sumber referensi, atau sebagai wadah untuk menukar ide tidak termasuk sebagai plagiarisme. Kedua, penggunaan AI sebagai alat bantu dalam pembuatan karya ilmiah harus mengacu terhadap pedoman dan persyaratan yang ditetapkan oleh APA. Menurut persyaratan yang dicantumkan pada website resmi APA, OpenAI diperbolehkan untuk digunakan tetapi harus tercantum pada referensi termasuk dengan prompt yang digunakan (Lihat : How to cite ChatGPT | APA)(McAdoo, 2023). Melalui pendekatan ini, AI dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas karya tanpa melanggar etika dan moral akademik.



Daftar Pustaka


Milmo, D., & editor, D. M. G. technology. (2023, September 1). Mushroom pickers urged to avoid foraging books on Amazon that appear to be written by AI. The Guardian. https://www.theguardian.com/technology/2023/sep/01/mushroom-pickers-urged-to-avoid-foraging-books-on-amazon-that-appear-to-be-written-by-ai



‌Martin, D. E. (2011). Culture and unethical conduct: Understanding the impact of individualism and collectivism on actual plagiarism. Management Learning, 43(3), 261–273. https://doi.org/10.1177/1350507611428119


***********


Best Regards,

Tim Redaksi PSYGHT 24/25



Penulis:

Odelia Putri Subroto (2023)

Comments


Give Us Your Feedback
Rate UsPretty badNot so goodGoodVery goodAwesomeRate Us

Thanks for submitting!

© 2022 by PSYGHT FPUAJ. Proudly created with Wix.com

bottom of page