Memasuki dunia perkuliahan menjadi tantangan bagi mahasiswa baru yang dituntut kemampuan beradaptasinya, baik dari segi diri sendiri maupun lingkungan. Buku yang dihasilkan dari tesis salah satu alumni Fakultas Psikologi Unika Indonesia Atma Jaya (FPUAJ), Rosa Virginia Kartikarini, di bawah bimbingan salah satu dosen FPUAJ, Dr. Margaretha Purwanti M.Si., Psikolog., “Mba Retha” membahas pentingnya penyesuaian diri dalam menghadapi lingkungan baru, terutama dalam masa peralihan dari sekolah ke perguruan tinggi. Meskipun banyak sekolah yang sudah memberikan pelatihan persiapan siswa menghadapi kehidupan kampus, kenyataannya setiap mahasiswa memiliki karakteristik yang berbeda dalam beradaptasi.
Pandemi Covid-19 memperparah kesulitan adaptasi ini. Interaksi fisik yang terbatas menciptakan kebiasaan baru dalam berkomunikasi secara daring, yang mempengaruhi kemampuan mahasiswa berinteraksi langsung. Ketika pembelajaran tatap muka kembali dibuka, banyak yang merasa canggung dan kesulitan beradaptasi kembali ke lingkungan sosial yang dulu pernah dianggap biasa. Menjalin relasi dan pertemanan inilah termasuk proses adaptasi yang menjadi dilema beberapa mahasiswa baru.
Dua konsep penting dalam proses adaptasi adalah self-efficacy dan self-disclosure. Self-efficacy adalah keyakinan diri seseorang dalam memulai pertemanan. Sedangkan self-disclosure adalah kemampuan untuk membuka diri dan berbagi pengalaman pribadi dalam interaksi, yang dapat memperdalam hubungan pertemanan. Keduanya menjadi modal penting untuk membangun jaringan pertemanan dan terlibat dalam berbagai kegiatan non-akademis, seperti organisasi kampus. Dari hal tersebut, terbentuklah salah satu hal terpenting dalam masa modern, yaitu networking.
Faktor psikologis nature dan nurture tidak terlepas mempengaruhi adaptasi ini. Lingkungan yang mendukung dan menstimulasi (nurture) dapat “menggeser” karakter alami seseorang (nature). Orang tua dengan sekedar berdialog, “Bagaimana hari ini?”, merupakan contoh penyokong self-disclosure yang kelak membentuk karakter seorang anak. Tidak lagi asing dalam dunia akademis, banyak tugas kelompok yang memungkinkan kerjasama untuk membangun disclosure. Upaya dari lembaga pendidikan, seperti metode pembelajaran student-centered berfokus pada ekspresi dan kolaborasi mahasiswa, tetapi penerapannya masih menghadapi tantangan besar di Indonesia. Dengan demikian, fasilitator harus memahami karakteristik nature mahasiswa yang menunjukkan potensinya lewat penilaian dan tugas individu.
Pada akhirnya, meskipun interaksi daring menawarkan fleksibilitas, interaksi langsung tetap diperlukan. Tatap muka memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berkomunikasi lebih jujur dan memahami ekspresi orang lain, yang merupakan kunci dalam membangun hubungan dan mengembangkan diri di lingkungan baru. Karena “Banyak berinteraksi dengan orang lain memaksa kita untuk disclosure”
Narasumber:
Dr. Margaretha Purwanti M.Si., Psikolog.
Pewawancara dan Penulis:
Jesselyn Chandra (2023)
Keywords yang digunakan dalam artikel:
self-efficacy, self-disclosure, pertemanan, adaptasi
コメント