Self-diagnosis merupakan proses mendiagnosis diri sendiri terhadap suatu penyakit berdasarkan pengetahuan pribadi atau informasi yang diperoleh dari internet maupun media sosial (Kembaren, Sp.KJ, 2022). Padahal, informasi yang didapatkan melalui internet atau media sosial seringkali tidak dapat dipastikan keakuratannya secara medis atau tidak didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang jelas. Media sosial memiliki peran penting dalam self-diagnosis. Konten self-diagnosis yang sedang populer dan mudah dijangkau dapat memengaruhi orang lain untuk melakukan hal serupa (Setiyanto, 2023).
Ada beberapa ciri-ciri dari self-diagnosis sebagai berikut (Adinda, 2022):
Panik. Saat seseorang mencoba mendiagnosis diri mereka sendiri, mereka cenderung mengasumsikan hal-hal negatif, yang kemudian memicu kekhawatiran yang tidak beralasan. Hal ini akhirnya dapat menyebabkan stres yang berdampak negatif pada kesejahteraan mental individu tersebut.
Menyangkal kesehatan mental. Ketika melakukan self-diagnosis, sebenarnya kita cenderung tidak memiliki pemahaman yang pasti tentang gangguan atau penyakit yang sedang kita alami. Kita hanya berspekulasi tentang berbagai kemungkinan yang tidak pasti kebenarannya. Akibatnya, kita mungkin mengabaikan kondisi yang sebenarnya ada.
Tidak mau berkomunikasi dengan ahli. Seseorang yang telah mendapatkan informasi dari internet cenderung merasa tidak perlu berkonsultasi dengan psikolog atau ahli kesehatan mental lainnya karena merasa sudah memahami gejala yang dialami tanpa bantuan profesional.
Self-diagnosis memiliki dampak negatif bagi individu yang melakukannya, yang terbagi menjadi tiga jenis. Jenis pertama adalah dampak kognitif, yang membuat individu percaya pada diagnosis yang salah itu sendiri. Hal ini terjadi akibat hanya fokus pada beberapa gejala tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dampak kognitif juga mendorong individu untuk melakukan kesalahan dalam menangani, seperti melakukan pengobatan tanpa adanya saran atau pengawasan dari ahli yang justru memunculkan masalah atau gangguan lain (komplikasi). Jenis selanjutnya adalah dampak efektif. Dampak ini menegaskan bahwa seorang individu yang melakukan self-diagnosis biasanya telah menunjukkan kesulitan fisik dan emosional sehingga memudahkan self-diagnosis untuk dilakukan. Adanya perbuatan ini dapat merubah cara pandangnya terhadap masalahnya. Misalnya, ia akan menghindari masalah yang membutuhkan waktu dan keaktifan untuk diselesaikan. Jenis terakhir adalah dampak perilaku yang memicu individu untuk menjadi lebih mudah khawatir dan beranggapan negatif kepada orang lain. Hal ini dapat terjadi karena individu tersebut akan tampil di depan masyarakat dengan tampilan yang baik dengan keterpaksaan bukan tampilan yang sesungguhnya, artinya akan selalu menampilkan sisi yang berlawanan. Misalnya, selalu berbelanja dan menampilkannya di media sosial demi menutupi latar belakang keluarga yang berkekurangan.
Solusi untuk mencegah dan mengatasi masalah self-diagnosis dapat melibatkan pemberdayaan individu untuk mencari bantuan profesional yang tepat. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko self-diagnosis dan perlu untuk melakukan konsultasi dengan ahli kesehatan terlatih yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam mendiagnosis kondisi medis dan kesehatan mental. Mereka dilengkapi dengan keterampilan, alat, dan pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan evaluasi yang komprehensif dan memberikan diagnosis yang akurat. Dibandingkan dengan mencoba mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang diperoleh dari internet atau media sosial, berkonsultasi dengan ahli kesehatan meningkatkan peluang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.
Selain itu, penting bagi individu untuk mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah dengan konstruktif. Keterampilan ini dapat membantu individu untuk mengidentifikasi masalahnya dengan lebih jelas, menganalisis akar penyebabnya, dan mengembangkan solusi yang efektif. Keterampilan penyelesaian masalah yang konstruktif memungkinkan individu untuk beradaptasi dengan perubahan dan tantangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, serta untuk menemukan solusi kreatif dan fleksibel terhadap situasi yang kompleks atau tidak terduga.
Daftar Pustaka
Annury, U. A., Yuliana, F., Suhadi, A. Z., & Karlina, C. S. (2022). Dampak self diagnose pada kondisi mental health mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. Jurnal ilmu sosial, 1, 481-486.
Kembaren, Sp.KJ, D. L. (2022, September 1). Bahaya Melakukan "Self Diagnosis" Gangguan Jiwa. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Retrieved March 13, 2024, from https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1436/bahaya-melakukan-self-diagnosis-gangguan-jiwa
Setiyanto, A. (2023, October 17). Kesehatan Mental: Bahaya Fenomena Self-Diagnosis Generasi Muda – FKM UNAIR. FKM UNAIR. Retrieved March 13, 2024, from https://fkm.unair.ac.id/kesehatan-mental-bahaya-fenomena-self-diagnosis-generasi-muda/
Adinda, R. (2022, March 28). Self Diagnosis: Pengertian, Ciri, Bahaya, dan Cara Mengatasinya. Gramedia. Retrieved March 19, 2024, from https://www.gramedia.com/best-seller/self-diagnosis/
***********
Best regards,
Tim Redaksi PSYGHT 23/24
Penulis: Verlyn Tatiana Harefa (2022), Jerry Laurencius Palijama (2022), Nabilla (2021)
Editor : Ariellah Sharon Mohede (2021)
コメント